Tuesday, June 07, 2005

Narsisis!



“In order to be able to love others, you must first love yourself.”
Mencintai diri sendiri tentunya positif. Tetapi kalau terlalu?
Hati-hati. Mungkin Anda narsisis!


Dari Mana Segalanya Berawal

Narsisisme (Narcissism) pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud, Bapak Ilmu Psikoanalisa. Gejalanya merujuk kepada kisah seorang pemuda dalam mitologi Yunani: Narcissus.

Siapa Narcissus? Ada banyak versi mengenai dia dan kisah cintanya. Bagaimanapun, semua versi sepakat bahwa Narcissus (dalam huruf Yunani, Ναρκισσος) adalah pemuda yang luar biasa tampan, putra dari dewa sungai, Cephissus. Pada usia 15 tahun, keelokan fisiknya telah memikat baik gadis-gadis maupun para pemuda, baik manusia maupun bangsa peri.

Versi Ovid, dalam bukunya Metamorphoses (bagian 3, baris 341-510), mengisahkan bagaimana seorang peri bernama Echo jatuh cinta pada Narcissus. Echo mati-matian berusaha menarik perhatiannya, namun tanpa hasil. Kutukan Hera menyebabkan Echo tidak dapat berkata-kata selain mengulangi apa yang telah dikatakan kepadanya, dan dengan demikian Echo tidak dapat menyampaikan isi hatinya.

Kesempatan baik datang saat Narcissus terpisah dari rombongannya di tengah hutan. Narcissus berseru, “Adakah orang di sini?”. Echo segera menyahut, “Di sini! Di sini!”. Narcissus yang tidak dapat melihatnya lantas berteriak, “Kemarilah!”. Maka Echo pun muncul dari sela rumpun pepohonan dengan kedua tangan terentang pada Narcissus, sambil berkata, “Kemarilah! Kemarilah!”. Namun dengan kejam Narcissus menolak ungkapan cintanya.

Echo merasa begitu malu dan terhina sehingga lari bersembunyi dalam gua dan tersia-sia, sampai tidak ada lagi yang tersisa darinya selain suaranya yang menggema. Nemesis, Dewi Pembalasan Dendam, tidak bisa membiarkan hal ini. Untuk menghukum Narcissus, ia mengutuknya untuk merasakan penderitaan cinta yang sia-sia dan tak berbalas, seperti halnya Echo.

Suatu ketika di tepi sebuah kolam Narcissus melihat seraut wajah yang demikian eloknya sehingga ia langsung jatuh cinta. Sepanjang hari ia menatapi kekasih pujaannya itu dan merayunya, tanpa menyadari bahwa yang ia cintai adalah dirinya sendiri yang tercermin di permukaan kolam. Ketika akhirnya ia menyadarinya pun, tak ada yang bisa dilakukan Narcissus. Ia tetap tak beranjak dari tepian kolam itu; ia mengabaikan segala perasaan cinta orang lain, dan perlahan-lahan mati merana. Di tempat ia biasa berada, tumbuh sekuntum bunga yang lantas dianggap sebagai penjelmaannya. Bunga yang dinamai Narcissa itu sangat cantik, berwarna kuning cerah, dan dikenal juga dengan nama Yellow Daffodil.

Versi-versi lain melibatkan Narcissus dalam kisah cinta bertema incest dan homoseksual. Seperti biasa, kisah-kisah mitologi Yunani memang cenderung amoral. Benang merah dari semua versi ini adalah tentang Narcissus yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri di permukaan kolam, dan tidak bisa melepaskan pandangan darinya sehingga akhirnya mati merana. Kisah yang tragis.


Narsisisme: Penyakit?

Istilah “narsisisme” diambil dari kata Narcissus, dan keduanya berasal dari kata Yunani “narke”, yang artinya mati rasa. Dari kata ini pula kita mendapat istilah “narkotika”. Dengan demikian, dalam bahasa Yunani Narcissus melambangkan sifat tidak berperasaan dan ketiadaan empati, sebagaimana Narcissus mati rasa terhadap mereka yang mencintainya.

Narsisisme adalah pola sifat dan tingkah laku yang menunjukkan obsesi terhadap diri sendiri, sampai-sampai mengucilkan arti orang-orang lain, dan secara egois mengejar kesenangan, dominasi, atau ambisi diri sendiri semata. Dalam bahasa sehari-hari, biasanya narsisisme dipakai untuk orang yang menyukai dirinya sendiri secara berlebihan.

Sampai taraf tertentu, narsisisme masih bisa diterima meski mungkin dianggap tidak wajar. Namun ketika gejalanya semakin parah, bisa jadi orang itu didiagnosa menderita Narcissistic Personality Disorder (NPD), yang –tidak diragukan lagi- adalah salah satu penyakit kejiwaan.

NPD dicirikan oleh kondisi ekstrem di mana penderita merasa diri sangat penting, begitu ingin dikagumi, namun pada saat yang sama tidak sanggup berempati. Diperkirakan satu dari setiap 100 orang menderita NPD, dan menurut riset, kebanyakan (50-75%) dari mereka adalah laki-laki. Ini fakta yang ironis dengan mitos bahwa para pecinta diri sendiri adalah kaum perempuan yang hobi berdandan.

Penderita NPD sendiri bisa dibedakan menjadi dua macam: NPD serebral dan NPD somatik. Penderita NPD serebral memuja diri sendiri dalam hal kepandaian atau prestasi akademik (jadi, lain kali hati-hati sebelum menyombongkan IPK Anda!), sedangkan penderita NPD somatik terobsesi dengan hal-hal yang berhubungan dengan fisik mereka, baik itu wajah, bentuk tubuh, maupun aktivitas seksual.


Daffodil Cantik dan Pria Metroseksual

Masalah dengan narsisisme adalah, bahwa hasrat untuk menjadi cantik, menjadi sempurna, atau dikagumi, merupakan sesuatu yang sangat wajar dan alami. Bukanlah dosa jika kita ingin menjadi Daffodil Cantik, dan karenanya lantas mematut diri lebih lama di depan kaca. Juga bukan dosa jika kita berpikir positif terhadap diri sendiri, bahwa kita adalah pribadi yang layak dicintai.

Lantas bagaimana membedakan rasa percaya diri dengan narsisisme? Atau membedakan gejala pria-pria metroseksual dengan narsisisme terselubung? Agaknya tidak ada patokan yang pasti.

Yang jelas, selama gejala negatif seperti ketiadaan empati belum didapati, Anda masih tergolong normal. Meski begitu, jika Anda tidak yakin, hentikan kebiasaan Anda berlama-lama di depan cermin, dan hubungi segera satu konsultan psikologi! Sebelum Anda terlanjur terlalu cinta diri sendiri!

No comments: