Friday, June 10, 2005

Six Degrees of Separation

Bahwa jika diambil dua orang secara acak di planet ini, niscaya keduanya terhubung satu sama lain melalui rantai “teman dari teman dari teman” paling banyak sampai derajat keenam. Ini berlaku juga antara Anda dan Madonna.


Bumi: Sebuah planet berdiameter 12.742 km yang dihuni sekitar 5 milyar manusia. Jika kita menatap cakrawala di tengah samudera, planet ini memang terasa sedemikian luasnya. Padahal secara astronomi, Bumi hanya sebuah noktah mungil yang tidak berarti di tengah keagungan semesta raya.

Bumi dalam benak Frigyes Karinthy, seorang penulis Skotlandia, juga sama mungilnya. Namun sudut pandang yang diambil Karinthy adalah hubungan antarmanusia. Pada tahun 1929 ia menelurkan cerita pendek berjudul “Rantai”, di mana digambarkan semua orang di Bumi ini saling tehubung dalam sebuah rantai hubungan dengan perantara tidak lebih dari lima orang. Ambil contoh, hubungan Anda dengan Tuan Entah Siapa di -sebut saja- Finlandia. Anda tidak kenal Tuan Entah Siapa. Tetapi teman Anda, A, berteman dengan B yang adalah teman C, yang dulu satu sekolah dengan D, yang berteman dengan E. E, tidak lain dan tidak bukan, adalah tetangga Tuan Entah Siapa ini. Begitulah kira-kira hipotesis rantai hubungan ini bermula.

Ide yang menarik, bukan? Lepas dari apakah ini sekadar khayalan atau sungguhan.

Small World Phenomenon

Tidak tanggung-tanggung, selama dua puluh tahun sejak tahun 1950, dua ilmuwan jungkir-balik berusaha membuktikan ‘khayalan’ Karinthy secara matematis. Mereka adalah Ithiel de Sola Pool (MIT) dan Manfred Kochen (IBM). Meski berhasil membahasakan persoalan tersebut dalam sebuah persamaan matematika (“Pada sistem yang terdiri dari N orang, berapa probabilitas bahwa setiap anggota N terhubung dengan yang lain melalui rantai K1, K2, K3,..., Kn?”), mereka tidak mampu memecahkannya secara memuaskan.

Giliran sosiolog turun tangan. Pada tahun 1967, Stanley Milgram merancang cara baru untuk menguji hipotesis yang disebutnya “the small world phenomenon” itu. Secara acak dipilihnya sejumlah orang di daerah pantai barat Amerika, untuk menyampaikan paket kepada seseorang di Massachusetts. Si Pengirim tahu nama si Target, juga pekerjaan dan daerah tempat tinggalnya, tetapi tidak mengenalnya secara pribadi. Perintahnya adalah untuk memberikan paket itu kepada seorang teman yang telah mereka kenal baik, yang menurut mereka kemungkinan besar bisa menyampaikan paket itu kepada si Target, baik secara langsung maupun melalui “teman dari teman”. Perintahnya terus berlanjut sampai paket tersebut benar-benar sampai secara pribadi.

Milgram awalnya memperkirakan bahwa akan dibutuhkan ratusan perantara sebelum paket itu akhirnya tiba. Ajaib! Ternyata rata-rata hanya perlu lima perantara untuk masing-masing paket. Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Psychology Today. Istilah populer “Six Degrees of Separation” juga lahir dari hasil riset Milgram ini.

Teori ini semakin kuat kala pada tahun 2001 riset ini diaplikasikan di internet. Duncan Watts (Columbia Univ.) menggunakan email sebagai pengganti paket yang harus dikirimkan. Dengan demikian, kritik yang selama ini ditujukan kepada penelitian Milgram yang lingkup pengambilan sampelnya terlalu kecil bisa dibungkam. Watts melibatkan 48.000 pengirim (Milgram hanya 60) dan 19 target (Milgram hanya 1) di 157 negara (Milgram hanya 1). Dengan riset yang lingkupnya seluas ini, didapati bahwa jumlah rata-rata perantara untuk setiap email yang sampai adalah -tanpa dapat disangkal- enam. Memang ajaib.

Six Degrees of Kevin Bacon

Bahkan sebelum riset Watts dijalankan, “Six Degrees of Separation” telah diterima sebagai ikon budaya pop. Penyebabnya tentu saja film Hollywood “Six Degrees of Separation” yang naskahnya ditulis oleh John Guare. John Guare mengambil judul itu karena terinspirasi temuan Milgram. Sebaliknya, film itu sendiri menginspirasi lahirnya game komputer terkenal “Six Degrees of Kevin Bacon”.

Siapa yang tidak kenal Kevin Bacon? Aktor berbakat ini telah membintangi begitu banyak film dan berkali-kali meraih penghargaan. Ini salah satu alasan kenapa namanya dicomot sebagai nama game tersebut. Alasan utamanya jauh lebih sederhana: karena “Six Degrees of Kevin Bacon” berima dengan “Six Degrees of Separation”, tidak seperti kalau kita pakai “Six Degrees of Tom Cruise” atau “Six Degrees of Keanu Reeves”.

Game ini adalah aplikasi teori “Six Degrees of Separation” dalam dunia para aktor film. Begitu terkenalnya game buatan Brett Tjaden (Univ. Of Virginia) ini, sampai-sampai website-nya masuk dalam daftar 10 website terbaik 1996 versi majalah Time. Selain idenya menarik, cara main game ini juga mudah; pemain tinggal menghubungkan seorang aktor film (siapa saja) dengan Kevin Bacon secepat mungkin dan dengan mata-rantai sesedikit mungkin. Hubungannya tentu saja berupa film yang dimainkan bersama, dan dekat-jauhnya hubungan itu dinyatakan dengan Angka Bacon. Dalam ‘dunia yang disederhanakan’ ini ternyata rata-rata aktor memiliki Angka Bacon 2 atau 3.

Komunitas matematikawan juga menciptakan angka serupa, yaitu Angka Erdos, untuk mengukur dekat-jauhnya hubungan masing-masing. Yang menjadi pusat semestanya adalah matematikawan Paul Erdos.

Friendster

Teori “small world phenomenon” pun lantas berkembang menjadi “small world networks”. Hingga kini aplikasinya telah menyentuh banyak sekali bidang, mulai dari jaringan sumber tenaga, koneksi internet, sampai analisa perilaku serangga. Aplikasi yang paling populer adalah Friendster.

Friendster, yang saat ini sedang ngetren di Indonesia, adalah website jaringan sosial yang didirikan Jonathan Abrams pada tahun 2002. Di sini setiap anggotanya memiliki galeri untuk ‘memamerkan’ teman-teman mereka. Website Friendster mengintegrasikan galeri-galeri ini, sehingga kita bisa melihat-lihat galeri teman lain, atau teman dari teman, dan seterusnya. Premisnya, dengan cara ini kita selalu terhubung dengan orang-orang yang merupakan teman-dari-teman-dari-teman-dari-teman, bukan sepenuhnya orang asing seperti di ICQ atau IRC.

Sampai sekarang Friendster membatasi akses antaranggota sampai paling banyak teman berderajat tiga (3rd-degree friends). Padahal, menilik riset Milgram dan Watts, jika galerinya diintegrasi hingga derajat keenam, sangat mungkin kita bisa melihat langsung bagaimana keterhubungan kita dengan Madonna, atau George W. Bush, atau Pangeran William.

Tentunya dengan asumsi kasar bahwa mereka juga termakan budaya pop dan ikut mendaftar di situs Friendster..

Tuesday, June 07, 2005

Narsisisme dalam Seni


(DARI SMURF SAMPAI POWERPUFF GIRLS)

Selama lebih dari 2000 tahun, kisah Narcissus telah mengilhami seniman dalam karya-karyanya. Ovid adalah contoh klasik. John Keats, penyair terkenal dari Inggris, juga membawa-bawa Narcissus dalam puisi panjangnya, “I Stood Tip-Toe on Top of a Hill”. Tidak terhitung jumlah naskah drama yang mengangkat elegi kisah Narcissus dan Echo. Seni lukis pun tidak mau ketinggalan.

Narsisisme merasuk juga dalam karya-karya yang lebih ringan dan modern. Sebut saja komik klasik terkenal “Smurf”. Dari 100 smurf di desa, ada satu yang mengidap narsisisme sampai membawa cermin ke mana-mana: Vanity Smurf. Bahkan smurf ke-100 sebenarnya adalah bayangan si Vanity Smurf yang melarikan diri dari cermin.

Powerpuff Girls, serial kartun terkenal yang digemari anak-anak, juga menyimpan karakter narsisis di dalamnya. Bahkan karakter ini adalah salah satu karakter kunci: Mojo-Mojo. Monyet jenius yang menjadi musuh utama trio Blossom, Bubbles, dan Buttercup inilah pengidap sindrom Narsisisisme.

Yang paling menarik mungkin konsep pembalikan seperti yang diungkapkan Paulo Coelho dalam prolog buku fenomenalnya, “Sang Alkemis”. Coelho mengandaikan bahwa pengidap narsisisme bukanlah Narcissus sendiri, melainkan justru sang Kolam yang setiap saat ditatapnya. Ketika Narcissus berubah menjadi bunga, sang Kolam merasa kehilangan. Karena Sang Kolam tidak bisa lagi menatap keindahan dirinya sendiri yang tercermin dalam mata Narcissus!

Narsisis!



“In order to be able to love others, you must first love yourself.”
Mencintai diri sendiri tentunya positif. Tetapi kalau terlalu?
Hati-hati. Mungkin Anda narsisis!


Dari Mana Segalanya Berawal

Narsisisme (Narcissism) pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud, Bapak Ilmu Psikoanalisa. Gejalanya merujuk kepada kisah seorang pemuda dalam mitologi Yunani: Narcissus.

Siapa Narcissus? Ada banyak versi mengenai dia dan kisah cintanya. Bagaimanapun, semua versi sepakat bahwa Narcissus (dalam huruf Yunani, Ναρκισσος) adalah pemuda yang luar biasa tampan, putra dari dewa sungai, Cephissus. Pada usia 15 tahun, keelokan fisiknya telah memikat baik gadis-gadis maupun para pemuda, baik manusia maupun bangsa peri.

Versi Ovid, dalam bukunya Metamorphoses (bagian 3, baris 341-510), mengisahkan bagaimana seorang peri bernama Echo jatuh cinta pada Narcissus. Echo mati-matian berusaha menarik perhatiannya, namun tanpa hasil. Kutukan Hera menyebabkan Echo tidak dapat berkata-kata selain mengulangi apa yang telah dikatakan kepadanya, dan dengan demikian Echo tidak dapat menyampaikan isi hatinya.

Kesempatan baik datang saat Narcissus terpisah dari rombongannya di tengah hutan. Narcissus berseru, “Adakah orang di sini?”. Echo segera menyahut, “Di sini! Di sini!”. Narcissus yang tidak dapat melihatnya lantas berteriak, “Kemarilah!”. Maka Echo pun muncul dari sela rumpun pepohonan dengan kedua tangan terentang pada Narcissus, sambil berkata, “Kemarilah! Kemarilah!”. Namun dengan kejam Narcissus menolak ungkapan cintanya.

Echo merasa begitu malu dan terhina sehingga lari bersembunyi dalam gua dan tersia-sia, sampai tidak ada lagi yang tersisa darinya selain suaranya yang menggema. Nemesis, Dewi Pembalasan Dendam, tidak bisa membiarkan hal ini. Untuk menghukum Narcissus, ia mengutuknya untuk merasakan penderitaan cinta yang sia-sia dan tak berbalas, seperti halnya Echo.

Suatu ketika di tepi sebuah kolam Narcissus melihat seraut wajah yang demikian eloknya sehingga ia langsung jatuh cinta. Sepanjang hari ia menatapi kekasih pujaannya itu dan merayunya, tanpa menyadari bahwa yang ia cintai adalah dirinya sendiri yang tercermin di permukaan kolam. Ketika akhirnya ia menyadarinya pun, tak ada yang bisa dilakukan Narcissus. Ia tetap tak beranjak dari tepian kolam itu; ia mengabaikan segala perasaan cinta orang lain, dan perlahan-lahan mati merana. Di tempat ia biasa berada, tumbuh sekuntum bunga yang lantas dianggap sebagai penjelmaannya. Bunga yang dinamai Narcissa itu sangat cantik, berwarna kuning cerah, dan dikenal juga dengan nama Yellow Daffodil.

Versi-versi lain melibatkan Narcissus dalam kisah cinta bertema incest dan homoseksual. Seperti biasa, kisah-kisah mitologi Yunani memang cenderung amoral. Benang merah dari semua versi ini adalah tentang Narcissus yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri di permukaan kolam, dan tidak bisa melepaskan pandangan darinya sehingga akhirnya mati merana. Kisah yang tragis.


Narsisisme: Penyakit?

Istilah “narsisisme” diambil dari kata Narcissus, dan keduanya berasal dari kata Yunani “narke”, yang artinya mati rasa. Dari kata ini pula kita mendapat istilah “narkotika”. Dengan demikian, dalam bahasa Yunani Narcissus melambangkan sifat tidak berperasaan dan ketiadaan empati, sebagaimana Narcissus mati rasa terhadap mereka yang mencintainya.

Narsisisme adalah pola sifat dan tingkah laku yang menunjukkan obsesi terhadap diri sendiri, sampai-sampai mengucilkan arti orang-orang lain, dan secara egois mengejar kesenangan, dominasi, atau ambisi diri sendiri semata. Dalam bahasa sehari-hari, biasanya narsisisme dipakai untuk orang yang menyukai dirinya sendiri secara berlebihan.

Sampai taraf tertentu, narsisisme masih bisa diterima meski mungkin dianggap tidak wajar. Namun ketika gejalanya semakin parah, bisa jadi orang itu didiagnosa menderita Narcissistic Personality Disorder (NPD), yang –tidak diragukan lagi- adalah salah satu penyakit kejiwaan.

NPD dicirikan oleh kondisi ekstrem di mana penderita merasa diri sangat penting, begitu ingin dikagumi, namun pada saat yang sama tidak sanggup berempati. Diperkirakan satu dari setiap 100 orang menderita NPD, dan menurut riset, kebanyakan (50-75%) dari mereka adalah laki-laki. Ini fakta yang ironis dengan mitos bahwa para pecinta diri sendiri adalah kaum perempuan yang hobi berdandan.

Penderita NPD sendiri bisa dibedakan menjadi dua macam: NPD serebral dan NPD somatik. Penderita NPD serebral memuja diri sendiri dalam hal kepandaian atau prestasi akademik (jadi, lain kali hati-hati sebelum menyombongkan IPK Anda!), sedangkan penderita NPD somatik terobsesi dengan hal-hal yang berhubungan dengan fisik mereka, baik itu wajah, bentuk tubuh, maupun aktivitas seksual.


Daffodil Cantik dan Pria Metroseksual

Masalah dengan narsisisme adalah, bahwa hasrat untuk menjadi cantik, menjadi sempurna, atau dikagumi, merupakan sesuatu yang sangat wajar dan alami. Bukanlah dosa jika kita ingin menjadi Daffodil Cantik, dan karenanya lantas mematut diri lebih lama di depan kaca. Juga bukan dosa jika kita berpikir positif terhadap diri sendiri, bahwa kita adalah pribadi yang layak dicintai.

Lantas bagaimana membedakan rasa percaya diri dengan narsisisme? Atau membedakan gejala pria-pria metroseksual dengan narsisisme terselubung? Agaknya tidak ada patokan yang pasti.

Yang jelas, selama gejala negatif seperti ketiadaan empati belum didapati, Anda masih tergolong normal. Meski begitu, jika Anda tidak yakin, hentikan kebiasaan Anda berlama-lama di depan cermin, dan hubungi segera satu konsultan psikologi! Sebelum Anda terlanjur terlalu cinta diri sendiri!