Thursday, March 09, 2006

RUU Antipornografi

To read the English version of the text, click here

IDE (apakah UU Antipornografi memang harus ada?)

Kita tentu saja percaya bahwa ide di balik RUU Anti-Pornografi-Aksi sesungguhnya demikin mulia, yakni perlindungan terhadap kemelorotan moral masyarakat. Siapa bisa menyangkal bahwa hal itu penting dan patut diperjuangkan? Namun demikian, bahwa melarang dada telanjang akan berarti orang-orang menjadi lebih bermoral, masih bisa diperdebatkan.

Faktanya, semakin reperesif peraturan, semakin tinggi hasrat terhadap pelanggaran. The Jakarta Post kemarin melaporkan peningkatan tajam jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun lalu. Tingkat pemerkosan di Indonesia lima kali lebih tinggi daripada di negara-negara Eropa. Tingkat kejahatan seksual terhadap anak juga jauh lebih tinggi, apalagi jika mempertimbangkan yang tidak terungkap.

Daripada melindungi masyarakat yang sudah dewasa dan sudah bisa berpikir sendiri, saya lebih bisa menerima keberadaan UU Antipornografi-aksi jika titik beratnya adalah perlindungan terhadap anak (dan perempuan). Segala yang berkaitan dengan kejahatan seksual terhadap anak sudah jelas harus dilarang. Eksploitasi anak untuk maksud-maksud seksual, seberapa privat pun, tetap saja pelanggaran. Untuk urusan ini tidak ada alasan dan tidak ada toleransi.

Sebaliknya, tujuan mulia untuk melindungi perempuan justru bisa menjadi bumerang. Dalam dunia yang patriarkis ini, di mana perempuan masih dipandang sebagai obyek seks yang utama, perang terhadap pornografi-aksi akan berakibat paling parah kepadanya: akan ada lebih banyak pembatasan lagi yang dibebankan, sementara dengan “pemaksaan” ini tindak kejahatan seksual meningkat, dan lagi-lagi korban terbanyak adalah perempuan. Apa yang diharapkan sebagai perbaikan moral dan “penolong” posisi perempuan malah melenceng dari gagasan awalnya.


TEKNIS (jika UU memang harus ada)

Pertama: sejauh mana negara berhak mengurus moral warganya? Menurut saya tidak sepenuhnya. Bahkan seandainya Indonesia adalah negara Islam, dan pornografi-aksi hendak diberangus dengan alasan agama, maka harus dipertanyakan lagi: bukankah menurut Islam tidak ada paksaan dalam beragama? Bukankah hal ketuhanan (dan segala aturan dan ritualnya) adalah prerogatif masing-masing individu?

Negara boleh mengatur apa yang ada di ruang publik, tetapi kalau saya memutuskan untuk berjalan-jalan telanjang di dalam kamar saya, saya percaya Negara tidak berhak melarang saya. Artinya pornografi-aksi yang BISA dan BOLEH diatur negara terbatas pada yang tampak (dan terdengar, mungkin) di depan umum.

Kedua: bagaimana mendefinisikan pornografi-aksi?

Versi Rancangan Undang-Undang: yang termasuk pornografi adalah “bagian tubuh tertentu yang sensual”. Penjelasannya adalah "antara lain alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya."

Menurut kamus (Oxford Advanced Learner):
Pornography (inf, porn): books, videos, etc. that describe or show naked people and sexual acts in order to make people feel sexually excited, especially in a way that many other people find offensive.

Masalahnya, definisi sangat tergantung dari perspektif yang dipakai si pengamat. Dan perspektif ini bisa subyektif sekali. Bagi muslim konservatif, rambut perempuan yang ditampakkan pun mungkin disebut pornografi. Lain halnya kalau yang ditanya adalah clubber yang sudah biasa melihat orang setengah telanjang.

Jadi, kita mau memakai definisi siapa? Karena definisi ini akan berbeda-beda, bukan hanya antara satu golongan dengan golongan yang lain, tetapi juga antardaerah. Perempuan penari Bali (yang merupakan bagian ritual sakral pemujaan para dewa) dengan kembennya apakah dianggap sedang berpornoaksi juga? Kalau orang Papua bertahan dengan koteka apakah mereka mau dipenjarakan semua?

Masalah kesenjangan perspektif ini tidak akan timbul kalau batasan antara yang patut dan yang porno tidak dibuat saklek. Kita bisa mengatakan bahwa dalam kebudayaan mana saja pun ada “kesepakatan” bahwa memperlihatkan alat kelamin primer atau hubungan seks adalah “porno”. Di antara “yang patut” dan “yang porno” sebenarnya ada daerah “yang tidak sopan” (indecent), dan inilah yang berbeda-beda untuk setiap budaya. Pornografi-aksi boleh saja (dan sebaiknya) dilarang, tetapi sekedar ketidaksopanan tentunya masih bisa ditoleransi sesuai budaya masing-masing. Dengan demikian akan lebih baik jika daerah punya semacam by-law tentang definisi dan katagori pornografi-aksi yang lebih membumi.

Pendefinisian dengan kata erotis juga rancu. Showing or involving sexual desire and pleasure; intended to make somebody feel sexual desire. Ini jelas subyektif. Apa yang erotis bagi satu orang mungkin sama sekali biasa bagi orang lain. Perempuan berjilbab yang jilbabnya tertiup angin sehingga rambutnya tampak mungkin lebih erotis daripada perempuan (satu dari ribuan) berbikini di pantai. Bagaimana mungkin membuat batasan dengan sesuatu yang tidak definitif? Bodoh sekali.


DAMPAK

Penolakan muncul di mana-mana, dan Bali-Papua mengancam akan keluar dari NKRI jika RUU ini benar-benar disahkan. Sektor pariwisata memang akan sangat terpukul oleh implementasi regulasi ini, karena turis asing tentunya lebih memilih kawasan wisata yang santai dan bebas daripada daerah tropis yang memaksa mereka memakai baju panjang berpanas-panas. Papua akan mengalami gegar-budaya jika dipaksa mengadopsi cara berbusana yang bukan kebiasaannya.

Seiring demonstrasi, debat, diskusi, dan segala hiruk-pikuk akibat pembahasan RUU ini, telah begitu banyak energi dan waktu yang terbuang di sana. Memang tidak terbuang percuma, karena semua geliat itu pun satu langkah lagi perjalanan kita untuk menjadi bangsa yang dewasa. Tetapi bayangkan jika energi dan waktu itu kita curahkan untuk sesuatu yang benar-benar esensial: pemberantasan korupsi atau perbaikan kualitas pendidikan.


SIMPULAN

Saya percaya bahwa moral tidak bisa dipaksakan. Meski RUU itu disahkan dan diberlakukan, tidak serta-merta berarti moral bangsa ini akan membaik. Tolok ukur moral yang sejati adalah ketika kesempatan untuk berbuat “salah” ada di depan mata, tetapi secara sadar kita menolak melakukannya. Character is doing the right thing when nobody’s looking. Jadi berilah kebebasan kepada orang untuk berbusana sesuka mereka (selama tidak merugikan pihak lain). Buatlah aturan –yang tidak ambigu- untuk hal-hal yang esensial; perlindungan terhadap anak, misalnya. Daripada aturan yang mengikat, yang lebih penting adalah bagaimana membuat mereka tahu dan sadar akan konsekuensi dari pilihan mereka ketika dihadapkan pada kebebasan. Sekali lagi pendidikan (dan bukan dalam arti sempit) memegang peranan. Karena hakikat menjalani hidup adalah memilih secara bebas dengan menyadari konsekuensi pilihan itu. Saya tahu saya bisa memakai tanktop kalau saya mau, dan toh saya memilih memakai jilbab. Kalau ternyata ada yang ingin memamerkan pusarnya, itu urusan dia. Silakan.